Sabtu, 23 Oktober 2010

Apakah amerika akan bangkrut?


Defisit yang terjadi di AS telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Defisit AS telah mencapai 1,09 triliun dolar. Menurut berita yang dilansir Bloomberg, defisit ini akan terus membengkak seiring dengan semakin menurunnya penerimaan pajak dan membesarnya paket stimulus yang digulirkan pemerintah AS serta pembiayaan perang di Irak dan Afghanistan. Para ekonom pada umumnya memberikan batasan bahwa ambang batas aman defisit anggaran suatu negara adalah 3 % dari produk domestik bruto (PDB), namun kondisi defisit AS sekarang sudah mencapai 12,7 %. Hal ini berarti defisit yang dialami oleh AS sudah sangat gawat. Defisit saat ini karena semakin membengkakkan utang AS dan hampir semua orang miris dengan besarnya utang pemerintah AS saat ini. Pemerintah AS mempunyai outstanding debt sebesar 9,5 triliun dolar dan setiap harinya akan bertambah sebanyak 1,77 milyar dolar perhari.

Saat kondisi ekonomi AS yang megap-megap ini tentu sangat membutuhkan uluran bantuan dana segar dari berbagai sumber agar tidak benar-benar kolaps. Namun negara lain dengan kapitalisasi ekonomi besar semacam China tidak akan terlalu bisa diharapkan membantu kondisi AS karena China sudah mengisyaratkan akan berusaha mengamankan cadangan devisanya dengan tidak menempatkan devisanya dalam denominasi dolar. Sehingga hal ini tentu lebih menekan proses recovery ekonomi masyarakat AS. Memang kondisi China berbeda 180 derajat dengan AS, saat kondisi AS sedang sekarat, China sangat sehat ekonominya. Devisa China sedang melonjak naik. Cadangan devisa China melonjak dari 1,95 triliun dolar (akhir kwartal I 2009) menjadi 2,13 triliun dolar (akhir kwartal II 2009).

Sekarang China memegang kartu truf terhadap ekonomi global. Sebagai catatan, pemegang aset dalam nominal dolar terbesar didunia adalah China dan Rusia. Sehingga setiap kebijakan fiskal China selalu menjadi perhatian dunia internasional. Seperti sudah belajar dari pengalaman sebelumnya, Pemerintah China tidak mau lagi menanggung resiko kerugian dengan membeli dolar karena saat ini nilai tukarnya sangat tidak stabil sehingga resiko penyusutan nilai akan sangat dimungkinkan terjadi. Sehingga tidak mengherankan China saat ini sedang gencar berinvestasi diluar AS termasuk mengincar Opel untuk diakuisisi. Momentum seperti saat ini bisa jadi dimanfaatkan oleh pemerintah China untuk memuluskan idenya untuk mengganti dolar sebagai mata uang dunia digantikan mata uang internasional lainnya semacam Special Drawing Right’s (SDR) nya IMF.

Kondisi ekonomi yang masih cerah di China dapat sebagai tempat berteduh yang nyaman bagi dana internasional yang sangat mobile mengikuti arah angin investasi global. Aliran devisa banyak masuk ke China berasal dari surplus perdagangan internasional, pergerakan dana jangka pendek dan investasi asing. Karena kebanjiran dana asing maka tidak mengherankan pertumbuhan ekonomi China masih terus melesat, ditandai dengan kenaikan harga saham dan property. Malah kalangan masyarakat awam kini terlalu khawatir karena kenaikan harga property yang kelewat cepat naik.

Kondisi AS yang gawat ini tentu sangat mengkhawatirkan banyak pihak karena ditakutkan akan munculnya efek domino dari hyper defisit AS. Dampaknya termasuk akan berimbas kepada ekonomi nasional. Hal ini tentu akan sangat menambah beban baik kepada masyarakat pada umumnya ataupun pemerintah RI dalam upaya recovery dari kondisi krisis global. Penyiapan anggaran untuk program subsidi semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan BBM akan melonjak naik. Dilain sisi pemerintah yang baru terpilih akan dihadapkan suatu dilema untuk melaksanakan program-program kesejahteraan masyarakat seperti apa yang dijanjikan dalam kampanye pilpres VS beban anggaran yang ditanggung akan melonjak karena kemungkinan eskalasi harga BBM internasional yang membubung kembali karena investor dunia yang mulai liar menempatkan dananya termasuk memburu aset pada sektor energi. Akan sangat tidak populis bila pemerintah yang terbentuk kemudian mengabaikan kondisi masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi. Masyarakat akan mengamati terutama progress dari pemerintah dalam 100 hari pertama. Sehingga hal ini tentu mendorong pemerintah agar tidak kehilangan momen tersebut karena akan berpengaruh terhadap pembentukan image pemerintah, namun tentu saja dengan cost yang tidak sedikit.

Krisis global yang belum akan terurai ini menghantui prediksi pertumbuhan nasional tahun 2010 menjadi lebih pesimistis. Termasuk target perolehan penerimaan negara terutama dari Pajak dan Bea Cukai akan sangat mengkhawatirkan. Seperti ucapan Dirjen Pajak – Darmin Nasution mengaku kesulitan mencapai target penerimaan pajak dalam APBN 2009 sebesar Rp 697,3 triliun di tengah gejolak perlambatan ekonomi global. Karena meskipun imbasnya tidak segera, namun akhirnya dampak defisit AS tentu akan sampai juga ke tanah air sehingga sektor swasta akan terpengaruh dan mengalami lesu darah karena omset penjualannya akan melorot.

Dari sisi penerimaan negara dari sumber lainnya yaitu penjualan obligasi pemerintah juga akan tertekan, karena harus bersaing dengan obligasi negara-negara maju terutama AS dan Inggris. Pemerintah AS tentu sangat haus akan dana investasi asing untuk menyegarkan ekonomi domestiknya kembali. Sehingga akan terjadi perang interest rate untuk obligasi-obligasi pemerintah dari berbagai belahan negara. Menteri Keuangan – Sri Mulyani – juga menyampaikan bahwa pemerintah RI perlu mengantisipasi terjadi inflasi tinggi dan kejenuhan pasar obligasi sehingga mempersempit sumber pembiayaan APBN. Ketergantungan kita akan dana asing masih terus ada karena sekitar 16 % anggaran negara masih harus ditutup dengan pinjaman luar negeri termasuk penjulan obligasi pemerintah.

Sehingga kondisi krisis ini akan semakin me mbuat kompleksitasnya meninggi. Penanganan yang harus diambil pemerintah RI akan menjadikan dilema karena disatu sisi harus menggulirkan kebijakan stimulus fiskal yang dapat memberikan dorongan bagi perekonomian namun dilain sisi sumber pembiayaannya akan sulit karena sumber pembiayaan yang semakin langka. Namun apapun kondisinya yang bakal terjadi, ada hal yang masih patut disyukuri karena pada dasarnya ekonomi kita masih terbilang tangguh. Sebenarnya ekonomi kita sudah lulus ujian dari krisis yang lebih hebat yang terjadi ditahun 1998. Kalau kita ingat kembali saat itu memang sangat miris, bagaimana tidak – kalau 1 dolar sama dengan Rp 16.000, itu berarti kita sudah tidak punya harga diri lagi sebagai bagian dari komunitas dunia. Pertumbuhan ekonomi kita mungkin akan melamban namun masih diprediksi tetap positif. Masyarakat domestik sebagai sumber serapan produk domestik masih tergolong besar sehingga pengaruh gangguan penerimaan negara dari ekspor tidak terlalu mengkhawatirkan. Ditambah lagi setelah terpilihnya pemerintahan baru sehabis pemilu masih diharapkan mempunyai legitimasi dari sisi politik untuk bertindak secara kolektif menggerakkan ekonomi nasional. Sehingga meskipun Indonesia akan terkena dampak lanjutan krisis global akibat defisit AS namun efeknya diharapkan tidak terlalu parah serta datangnya belakangan. Bila kita bandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, kondisi Indonesia masih jauh lebih baik. Krisis pada saat itu lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan krisis kali ini karena kalau tidak lulus ujian kita bisa kehilangan identitas diri sebagai bangsa yang independent dan bersatu. Jadi sebagai antisipasi krisis global lanjutan dan agar lokomotif ekonomi kita senantiasa mengepul maka bantulah industri domestik dengan mengkonsumsi produk nasional terutama produk yang padat karya. Karena belajar dari pengalaman yang lalu, sektor industri kecil termasuk kerajinan yang padat karya ternyata lebih banyak menyerap sektor tenaga kerja, lebih kebal dan lebih cepat sembuh dari krisis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar